Jumat, 09 April 2010

FILARIASIS
1.Pengertian Filariasis
Filariasis atau penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular yang disebabkan infeksi cacing filaria yang hidup disaluran dan kelenjar getah bening (limfe) dan ditularkan berbagai jenis nyamuk. Menurut Heelan, J.S, et al., 2002), cacing filaria yang menginfeksi manusia termasuk ordo Filariata, superfamilia Filariodea. Cacing ini menyebabkan infeksi pada manusia dengan cara ditularkan oleh vektor nyamuk.
Filariasis biasanya diartikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria genus Wuchereria dan Brugia di jaringan limfatik. Filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti disebut filariasis bancrofti; dan yang disebabkan oleh Brugia disebut filariasis brugia. Cacing filaria dewasa mempunyai ukuran cukup besar (betina lebih besar dari jantan), sehingga dapat dilihat pada pemeriksaan mikroskopis seperti benang putih beberapa sentimeter.
Filaria limfatik, stadium dewasanya hidup dalam jaringan limfatik, seperti didaerah inguinal, poplitial, dan aksial. Dalam jaringan limfatik, cacing filaria dapat menimbulkan peradangan lokal yang sifatnya kambuhan disertai kelainan klinis umum berupa demam. Pada perjalanan penyakit lebih lanjut dapat menimbulkan cacat (kaki gajah) pada tungkai, lengan atau genital.

2.Penyebab
Filariasis disebabkan oleh cacing filaria yang menyerupai benang dengan jenis Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi yang menyebabkan filariasis limfatik yang hidup di manusia. Cacing ini tinggal di sistem limfatik, yaitu suatu jaringan yang terdiri atas kelenjar dan pembuluh limfe yang berfungsi mempertahankan keseimbangan cairan antara jaringan tubuh dan darah serta merupakan komponen penting dalam sistem pertahanan tubuh manusia. Parasit ini hidup selama 4 – 6 tahun, dan memproduksi berjuta-juta mikrofilaria imatur yang bersirkulasi didalam darah (WHO, 2000).
Menurut Depkes (2006a) filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Dan secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu :
a.Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya. Memiliki periodisitas nokturna dan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.
b.Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Mempunyai periodisitas nokturna dan ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk Anopheles.
c.Brugia malayi tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostis yang ditemukan didaerah persawahan.
d.Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak di temukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan didaerah rawa.
e.Brugia malayi tipe non periodik.
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik pada malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.
f.Brugia timori tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur dan Maluku Tenggara.

3.Lingkaran hidup
Menurut Rukmono et al.,(1983) lingkaran hidup cacing filaria meliputi (1) pengisapan mikrofilaria dari darah atau jaringan oleh serangga pengisap darah; (2) metamorfosis mikrofilaria di dalam hospes perantara serangga mula-mula membentuk larva rabditiform lalu membentuk larva filariform yang infektif. (3) penularan larva infektif ke dalam kulit hospes baru melalui proboscis serangga yang menggigit. Bila serangga menggigit hospes definitif, larva akan meninggalkan ujung proboscis ke kulit dekat lubang gigitan, lalu masuk ke tubuh melalui luka tersebut. Sesudah menembus kulit melalui luka gigitan, larva meneruskan perjalanan ke pembuluh dan kelenjar limfe, tempat mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu setahun. Mikrofilaria berbentuk halus, tipis dengan inti-intinya dan merupakan bentuk telur stadium lanjut sehingga berwujud cacing yang dapat bergerak aktif.

4.Cara penularan
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu : 1). Adanya sumber penularan, yaitu manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya, 2). Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis, 3). Manusia yang rentan terhadap filariasis. Seseorang tertular bila mendapat gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 - L3). Nyamuk tersebut mendapat mikrofilaria sewaktu menghisap darah penderita atau binatang reservoir yang mengandung mikrofilaria. Siklus penularan filariasis melalui dua tahap yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor) dan tahap perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoir. Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, seseorang bisa terinfeksi filariasis apabila mendapat gigitan nyamuk ribuan kali (Depkes, 2006a).

5.Masa inkubasi dan masa penularan
Manifestasi inflamasi alergik mungkin timbul lebih cepat yaitu sebulan setelah terjadi infeksi, mikrofilaria belum ditemukan dalam darah hingga 3-6 bulan pada Brugia timori dan 6-12 bulan pada Wucheria bancrofti (Chin, 2000). Manusia dapat menularkan penyakit filariasis melalui nyamuk pada saat mikrofilaria berada pada darah tepi, mikrofilaria akan terus ada selama 5-10 tahun atau lebih sejak infeksi awal. Nyamuk akan menjadi infektif sekitar 12-14 hari setelah menghisap darah yang terinfeksi (Depkes, 2006a).

6.Gejala klinis
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan jaringan parut, didaerah lipatan paha dan ketiak ( Depkes, 2005).
Menurut Kurniawan (2001) dalam perjalanan penyakitnya, filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari masa inkubasi, maka dapat dibagi menjadi :
a.Masa prepaten
Masa prepaten adalah masa masuknya larva infektif ke dalam tubuh sampai terjadinya microfilaremia yang berkisar 3-7 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok ini pun tidak semua menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimptomatik amikrofilaremik dan asimtomatik mikrofilaremik.
b.Masa Inkubasi
Masa dimana masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8-16 bulan.
c.Gejala klinik akut
Gejala klinik akut filariasis berupa limfadenitis, dan limfangitis disertai panas dan malaise.
d.Gejala menahun (kronik)
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan pertama berupa cacat fisik yang mengganggu aktivitas serta membebani keluarga.

7.Diagnosis
a.Diagnosis klinis
Diagnosis klinis ditegakkan melalui anamnesis yang dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis klinik penting dalam menentukan akut dan menahunnya suatu kasus.
b.Diagnosis parasitologik
Dignosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada pemeriksaan darah tepi (jari) malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan pada siang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarmabasin 100 mg
c.Diagnosis epidemiologik
Endemistis filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan microfilarial rate (mf rate), Acute DiseaseRate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk. Pendekatan praktis untuk menentukan suatu daerah endemis filariasis, dapat melalui penemuan penderita elaphantiasis.

8.Pengobatan
Indonesia menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu program nasional pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama yaitu memutuskan rantai penularan dengan pengobatan massal didaerah endemis (Mf rate > 1%) dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Pengobatan massal menggunakan kombinasi Dietilkarmabasin (DEC) 6 mg/kgBB, Albendazol 400 mg dan Paracetamol 500 mg. Pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap semua penduduk tetapi untuk sementara di tunda bagi anak beruasia < 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kasus kronis filariasis dalam serangan akut serta anak berusia < 5 tahun dengan marasmus atau kwasiorkor (Depkes (2006d)
Pengobatan massal hendaknya menggunakan metode dosis bertahap karena selain menghemat waktu menjadi 3 bulan, reaksi samping pengobatan tidak jauh berbeda dengan dosis rendah, dan minimal total dosis obat 2,494 mg tercapai adanya penurunan sampai dengan 99,78% (Kardiningsih, 2001).

9.Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Menurut Depkes (2006c) untuk mencegah/memberantas ini pemerintah melakukan gerakan eliminasi filariasis. Pelaksanaan eliminasi filariasis di Indonesia dilakukan dengan menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi kecacatan. Masyarakat diharapkan berperan serta dengan cara :
a.Memeriksakan diri kepada petugas kesehatan jika kemungkinan adanya tanda dan gejala filariasis.
b.Bersedia menelan obat secara teratur sesuai dosis yang dianjurkan petugas kesehatan.
c.Berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dengan cara :
1)Tidur memakai kelambu
2)Menutup lubang angin (ventilasi) rumah dengan kawat kasa halus.
3)Menggunakan obat anti nyamuk (bakar, oles, semprot)
d.Menghilangkan tempat perindukkan nyamuk sehingga tidak memungkinkan perkembangan nyamuk melalui gerakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk).
Program pemberantasan di Indonesia dimaksudkan untuk :
a.Menurunkan Acute Disease Rate (ADR)
b.Menurunkan Microfilaria Rate (mf rate) < 1 %
c.Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR).

10.Epidemiologi filariasis
Menurut Gandahusada, et al (1998) penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah katulistiwa dan merupakan masalah di daerah dataran rendah tetapi kadang-kadang ditemukan di daerah bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan dan yang terdapat di perkotaan hanya W.bancrofti yang telah ditemukan di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan, Semarang dan mungkin di beberapa kota lainnya.
Di Indonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat dibanyak pulau di seluruh Nusantara, seperti Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, Papua, dan masih banyak daerah yang belum diselidiki.
Prevalensi infeksi sangat variabel; ada daerah yang non-endemik dan ada pula daerah-daerah dengan derajat endemik yang tinggi seperti Papua dan Pulau Buru dengan derajat infeksi yang dapat mencapai 70%. Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa dan pada umumnya ada tendensi menurun dengan kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan.
Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigrasi) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit ini lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.
Tipe B.malayi yang dapat pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing, dan kera terutama jenis Presbitys, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti terdapat didaerah perkotaan (urban) ditularkan oleh Culex quinquefasciatus yang menggunakan air kotoran dan tercemar sebagai tempat perindukkannya. W. bancrofti yang di pedesaan (rural) dapat ditularkan oleh berbagai macam spesies nyamuk. Di Papua W.bancrofti ditularkan oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang (hoofprint) untuk tempat perindukkannya. Selain itu ditemukan juga vektor An.koliensis, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan An.kochi. W.bancrofti didaerah lain dapat ditularkan oleh spesies lain seperti An.subpictus didaerah pantai NTT dan juga nyamuk Culex pernah ditemukan sebagai vektor.
Brugia malayi yang hidup pada manusia dan hewan, biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mn.uniformis, Mn.bonneae, Mn.dives dan lain-lain yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, Maluku dan lain-lain. B.malayi yang periodik ditularkan oleh An.barbitorus yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi.
Brugia timori ,merupakan spesies yang baru ditemukan di Indonesia sejak 1965 dan hingga sekarang hanya ditemukan di daerah N.T.T. dan Timor Timur, ditularkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik didekat pantai maupun didaerah pedalaman. Brugia malayi dan timori hanya terdapat di pedesaan saja karena vektornya tidak dapat berkembang biak di perkotaan
Faktor lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup hospes reservoar dan vektor, merupakan hal sangat penting untuk epidemiologi filariasis. Dengan demikian, filariasis yang ada di suatu daerah endemis dapat diduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan.

11.Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis
Faktor risiko adalah faktor yang kehadirannya meningkatkan probabilitas kejadian penyakit, sebelum penyakit tersebut mencapai fase ireversibilitas. Dalam epidemiologi hasil riset tentang penyebab penyakit pada umumnya masih bersifat mungkin atau mekanismenya belum diketahui, maka digunakan kata faktor risiko ketimbang faktor penyebab (kausa) untuk menerangkan suatu variabel yang meningkatkan probabilitas individu untuk mengalami penyakit (Kleinbaum et al., 1992 cit Murti,1997).
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia diketahui bahwa kejadian filariasis umumnya dihubungkan dengan faktor risiko lingkungan, sosial budaya dan ekonomi serta perilaku. Faktor-faktor tersebut berperan terhadap penularan filariasis dan bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
a.Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang erat kaitannya dengan kejadian filariasis karena lingkungan merupakan tempat berkembangbiaknya vektor penular filariasis. Menurut Depkes (2006a) daerah endemis W.bancrofti tipe pedesaan umumnya kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B. malayi yaitu daerah hutan rawa, persawahan, dan badan air yang sering ditumbuhi tumbuhan air. Lingkungan tersebut berperan sebagai tempat perindukan dan beristirahatnya vektor nyamuk. Berdasarkan Hasil penelitian Saniambara (2005) di Kecamatan Rote Ndao Provinsi NTT diketahui bahwa jenis cacing yang ditemukan pada penderita adalah spesies Wuchereria bancrofti (mf rate = 5,7%) dan Brugia timori (mf rate = 4,2%) serta perumahan yang terletak di daerah persawahan tadah hujan menduduki urutan tertinggi mf rate yaitu 21,18% dan disimpulkan bahwa ada hubungan keadaan lingkungan pemukiman terhadap infeksi filariasis (r= -0,1563, p= 0,0024). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2007) di Kabupaten Tanjung Provinsi Jambi menyimpulkan bahwa lingkungan air tergenang dengan tanaman mempunyai risiko terhadap kejadian filariasis (OR=9,47).
Salah satu aspek lingkungan yang menyangkut kehidupan manusia adalah masalah lingkungan pemukiman. Dalam rangka upaya pencegahan terhadap penularan penyakit filariasis, maka faktor jarak pemukiman dengan daerah berawa, persawahan dan hutan rimba hal ini untuk mengantisipasi keberadaan vektor penular filariasis yang diketahui mempunyai jarak terbang 50-100 meter kecuali terbawa angin kencang serta rumah yang dibangun harus memenuhi syarat rumah yang sehat yaitu cukup pencahayaan, ventilasi yang sempurna (dipasang kasa), tersedia sumber air minum, jamban keluarga, tempat pembuangan sampah dan saluran pembuangan limbah, lantai tidak dari tanah, jendela atau lubang angin untuk memudakan cahaya dan sirkulasi udara dalam ruangan terpenuhi.
Pada penelitian Uloli (2007) di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo diketahui bahwa lingkungan pemukiman yang jaraknya < 200 meter dari daerah berawa, respondennya mempunyai resiko 3 kali terinfeksi filariasis (OR = 3,56).
Keberadaan hospes reservoir seperti kera, lutun dan kucing berpengaruh terhadap penyebaran B. Malayi sub periodik nokturna dan non periodik. Menurut hasil penelitian Sudjadi (1996) di ketahui bahwa kucing merupakan hospes reservoir filariasis. Pendapat ini diperkuat oleh hasil penelitian Reike Uloli di Gorontalo bahwa kebiasaan memelihara kucing mempunyai hubungan bermakna secara statistik terhadap kejadian filariasis (p=0,038).
Pada pemberantasan vektor filariasis, bionomik (tata hidup) vektor harus diketahui yang mencakup perilaku berkembang biak, perilaku menggigit dan perilaku beristirahat dari spesies vektor. Nyamuk dapat bersifat antropofilik (menyukai darah manusia), zoofilik (menyukai darah hewan) dan zooantofilik (menyukai darah hewan dan manusia), eksofagik (menggigit diluar rumah) dan bisa juga bersifat endofalik atau menggigit dalam rumah, (Depkes, 2005).
Selain menggigit dan mencari tempat perindukan, nyamuk membutuhkan aktivitas terbang. Pada kegiatan ini, nyamuk mempunyai jarak terbang yang berbeda-beda. Setiap jenis nyamuk mempunyai jarak terbang yang paling efektif yaitu 50 – 100 meter, kecuali terbawa angin kencang ( Sigit et al, 2006).
Penularan filariasis akan menjadi efektif, bukan hanya karena mikrofilaria dalam darah manusia atau hewan sebagai sumber penularan tetapi dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk sebagai vektor filariasis, kecocokan antara perilaku keberadaan mikrofilaria dalam darah tepi dengan perilaku menggigit nyamuk. Perilaku yang tidak cocok antara mikrofilaria dengan siklus menggigit nyamuk akan menghasilkan penularan yang tidak efektif, sehingga pada akhirnya parasit akan mengalami kepunahan. Perilaku vektor penting untuk diketahui dalam rangka upaya pencegahan mata rantai penularan filariasis.
b.Faktor sosial budaya dan ekonomi
Sosial budaya dan ekonomi merupakan lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia yang dilatar belakangi oleh beberapa aspek seperti pekerjaan, pendidikan, status ekonomi, adat istiadat, kebiasaan hidup penduduk.
Faktor sosial budaya, dan ekonomi dapat mempengaruhi penularan filariasis. Kebiasaan bekerja di kebun di malam hari atau keluar rumah di malam hari atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden pada laki-laki lebih tinggi dari pada insiden filariasis perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor sehubungan dengan pekerjaannya.
Menurut penelitian Mahdiniansyah (2000), faktor resiko pekerjaan yakni ladang berpindah-pindah mempunyai resiko 2,91 kali tertular filariasis. Kebiasaan tinggal di hutan saat panen mempunyai resiko 4,10 kali terkena filariasis. Demikian juga menurut penelitian yang dilakukan oleh Saniambara (2005), jenis pekerjaan sebagai petani mempunyai persentasi terbanyak (16,56%) tertular filariasis.
Status sosial ekonomi dalam hal ini tingkat pendapatan penduduk yang rendah berpengaruh terhadap upaya pencegahan penyakit dengan memelihara lingkungan pemukiman yang memenuhi syarat kesehatan, seperti membangun rumah yang sehat sehingga mencegah penularan filariasis atau memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya terutama makanan yang bergizi.
Pendapatan keluarga adalah jumlah semua perolehan yang didapat anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain seperti pendidikan, perumahan, kesehatan dan lain-lain. tingkat pendapatan yang memadai berarti bahwa rumah tangga mendapatkan cukup kalori dan protein bagi semua anggota keluarga. Tingkat pendapatan dihitung berdasarkan standard 320 kg beras/orang/tahun Sajogjo (1981).
Hasil penelitian Uloli (2007) menyebutkan bahwa tingkat penghasilan rendah merupakan salah satu faktor resiko kejadian filariasis dengan nilai OR = 2,364 dan mempunyai hubungan bermakna secara statistik dengan nilai p=0,025.
Menurut Soeyoko (2002), penularan filariasis banyak dikaitkan dengan aspek sosial budaya, antara lain pengetahuan, kepercayaan, sikap dan kebiasaan masyarakat. Perilaku penduduk dapat juga mengurangi atau menambah kemungkinan penularan filariasis.
Banyak paham yang menganggap bahwa filariasis terjadi karena adanya faktor magic, yang biasa dikenal dengan ilmu hitam ” suanggi”, bahkan sebagai penyakit kutukan maupun turunan. Ada yang mengaitkan dengan pekerjaan dimana dengan bekerja keras dan cuaca dingin akan menyebabkan kaki gajah, ada pula yang menganggap bahwa filariasis bersumber dari minum air atau alergi makanan tertentu (Setyawati, 2003 cit Saniambara, 2005).

c.Perilaku.
Perilaku secara biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Menurut Skinner (1938) cit Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsangan (stimulus) dan tanggapan atau respon. Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang terhadap suatu obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan.
Menurut Benyamin Bloom (1908) cit Notoatmojo (2007) perilaku dibagi kedalam 3 (tiga) domain yaitu : a) kognitif (cognitive), b). afektif (affective), c). psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni : pengetahuan (Knowledge), sikap (Attitude) dan tindakan (Practice)
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk sikap dan tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu : a). Tahu (know), b). memahami (comprehension), c). aplikasi (aplication), d). analisis (analysis), e). sintesis (syntesis), f). evaluasi (evaluation).
Indikator-indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi pengetahuan tentang sakit dan penyakit, pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, pengetahuan tentang kesehatan lingkungan.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari objek penelitian atau responden. Data yang bersifat kualitatif digambarkan dengan kata-kata, sedangkan data yang bersifat kuantitatif berwujud angka-angka, hasil hasil perhitungan atau pengukuran, dapat diproses dengan cara dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh persentase, setelah dipersentasekan lalu ditafsirkan kedalam kalimat yang bersifat kualitatif. Perhitungan hasil pengukuruan sebagai berikut :
a. Kategori baik yaitu menjawab benar 76 % - 100 % dari yang diharapkan.
b. Kategori cukup yaitu menjawab benar 56 % - 75 % dari yang diharapkan
c. Kategori kurang yaitu menjawab benar dibawah 56 % dari yang diharapkan.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2007). Hal ini disebabkan karena setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus tersebut, oleh sebab itu sikap dikatakan sebagai respon evaluatif. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap positif-negatif, baik – buruk, menyenangkan-tidak menyenangkan terhadap suatu obyek.
Berbagai tingkatan dalam sikap adalah a). menerima (receiving), b). merespon (responding), c). menghargai (valuing), d). bertanggung jawab (responsible). Indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan tentang kesehatan, yaitu : sikap terhadap sakit dan penyakit meliputi bagaimana penillaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan penyakit, sikap tentang cara memelihara dan cara hidup sehat diantaranya pendapat atau penilaian seseorang terhadap cara-cara berperilaku hidup sehat serta sikap terhadap kesehatan lingkungan seperti pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan responden terhadap suatu obyek, secara tidak langsung dapat dikalukan dengan membuat pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. Berdasarkan hasil penelitian Saniambara (2005) diketahui bahwa ada hubungan signifikan antara sikap dan kebiasaan yang ditunjukkan dengan nilai r = -0,26 dan p = 0,0029.
Tindakan atau praktek adalah respon untuk melaksanakan apa yang telah diketahui atau disikapi. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek kesehatan dan melakukan penilaian terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya.
Indikator tindakan / praktek kesehatan mencakup juga mencakup hal-hal tersebut diatas, yaitu : tindakan (praktek) sehubungan dengan sakit dan penyakit yang mencakup tindakan atau perilaku yang berhubungan dengan penyembuhan penyakit, meliput : minum obat sesuai anjuran dokter, berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat, tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Tindakan atau perilaku ini mencakup antara lain, mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang, melakukan olah raga teratur, tidak merokok, tidak minum minuman keras, narkoba, tindakan (praktek) kesehatan lingkungan mencakup membuang air besar di Jamban (WC), membuang sampah ditempat sampah, menggunakan air bersih untuk mandi, cuci, masak, dan sebagainya.
Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses belajar karena secara teori perubahan perilaku atau mengadopsi perubahan perilaku baru mengikuti tahap-tahap yang telah disebutkan diatas yaitu melalui proses perubahan : pengetahuan (knowledge) – sikap (attitude) – praktik (practice). Tindakan atau perilaku yang berhubungan dengan pencegahan penyakit filariasis seperti : tidur menggunakan kelambu, memasang kasa pada ventilasi rumah, tidak beraktivitas diluar rumah pada malam hari dan menjaga kebersihan lingkungan, merupakan perilaku seseorang setelah mengetahui cara pencegahan penyakit filariasis.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang pencegahan penyakit filariasis memegang peranan penting terhadap perubahan perilaku masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit filariasis. Penelitian Uloli (2007) menyimpulkan bahwa pengetahuan mempunyai hubungan yang siginifikan dengan kejadian filariaisis (OR = 2,004) dan Confidence Interval (CI) sebesar 1,021 – 3,3930.
Menurut Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa persepsi masyarakat tentang sehat–sakit erat kaitanya dengan perilaku pencarian pengobatan. Kedua pokok pikiran tersebut akan mempengaruhi atas dipakai atau tidaknya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit petugas (provider), maka jelas belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang diberikan.
Pandangan tentang kriteria tubuh sehat atau sakit tidaklah selalu obyektif, bahkan lebih banyak unsur subyektivitasnya. Dalam menentukan kondisi tubuh seseorang, persepsi masyarakat ini sangatlah dipengarui oleh unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial budaya ( Sarwono, 2004).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda